Ah, orang Gereja mah pada takut Corona

“Ah, orang gereja mah pada takut ama Corona,” kata seorang penjaga parkir di suatu gereja kepada rekannya.

Perkataan itu disampaikan ketika rekannya menanyakan, “bagaimana parkiran?” Lalu, dijawablah demikian: orang gereja mah pada takut ama Corona.

Ketika mendengar kalimat itu, saya sedang pemanasan di depan teras rumah. Kalimat itu terus berulang-ulang hingga saya memutuskan untuk merenunginya.

“Wah ternyata yang ditangkap oleh si penjaga parkir itu adalah ketakutan orang Kristen terhadap pandemi, bukan ketaatan terhadap pemerintah. Ah, tapi itu wajar saja kok. Namanya juga pandangan orang.”

“Kalau saja wajah orang Kristen tidak mengandung ketakutan, tentu pandangan si penjaga parkir itu berbeda.”

“Apakah kecemasan yang terlihat dari wajah orang Kristen ketika pandemi ini?”

“Ya rasa takut adalah bagian dari manusia. Wajar saja. Loh tapi kenapa sampai terlihat oleh orang lain. Ya tentu saja. Bukankah pernah teman kita bilang ke kita, “Kenapa lo, lagi sedih ya?” ketika wajah kita didapatinya suram.

Itu beberapa kalimat yang bermunculan di pikiran saya. Satu yang menjadi fokus saya “Apakah roh ketakutan yang muncul dari kehidupan orang Kristen?”

Ketakutan didiamkan!

Secara fisik, ketakutan mempengaruhi reaksi tubuh kita, misalnya degup jantung berdebar kencang, nafas tersengal-sengal, bibir digigit, dan respon fisik lainnya.

Di dalam Alkitab dikasihkan tentang ketakutan murid-murid Yesus saat melihat Yesus di tengah laut. Murid-murid Yesus tidak mengenali siapa yang dilihatnya. Murid-murid menjadi cemas. Ketakutan.

Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak, 6:50 sebab mereka semua melihat Dia dan merekapun sangat terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

Markus 6:49-50

Tubuh kita secara alami merespon ketakutan. Beberapa di antara kita mungkin lebih cepat merespon segala sesuatu yang baru (mengagetkan) dengan wajah ketakutan. Beberapa yang lainnya merespon dengan tenang.

Dari kisah murid-murid yang sampai mengira Yesus adalah hantu, kita bisa melihat betapa pengenalan kita tentang sesuatu dapat memengaruhi ucapan, bahkan tindakan kita.

Yesus memerintahkan: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Dari pernyataan Yesus ini, jelas sekali ketakutan yang dialami murid-muridnya hingga Yesus harus menegaskan ini Aku dan jangan takut!

Lalu masuklah Yesus ke perahu itu dan angin kencang tiba-tiba berhenti.

Lalu masuklah Yesus ke perahu itu dan angin kencang tiba-tiba berhenti.

Dua kalimat itu sengaja ditulis berulang. Tiba-tiba. Seketika itu juga. Saat itu. Sekonyong-konyong. Tepat saat Yesus masuk ke dalam perahumu (rumahmu, pekerjaanmu, perusahaanmu, bahkan hidupmu), takutpun hilang!

Bersembunyi dari Malapetaka

Situasi pandemi ini sudah dipandang sebagai malapetaka global, bukan? Sampai saat ini (31/03) sudah menyerang 199 negara. Peristiwa yang cukup menggemparkan di zaman modern seperti ini. Resesi globalpun diprediksi tidak bisa terelakan.

Aksi Sosial Penyemprotan Disinfektan di Gereja-gereja Tangerang Raya.

Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka.

Amsal 27:12

Ayat ini dengan jelas memerintahkan kita untuk bersembunyi ketika melihat bencana. Apalagi otoritas (pemerintah) sudah menginstruksikannya. #TaatItuIbadah

Alih-alih menjalankan instruksi Pemerintah, kenapa wajah ketakutan yang tertangkap? Ini bagian yang harus kita renungi setiap saat. Apakah kita dikuasai oleh roh ketakutan?

Apakah Tuhan Yesus sudah masuk ke dalam perahu kehidupan kita? atau kita masih meracau hantu hantu hantu ketika diserang rasa takut?

Yesus adalah pelepas segala ketakutan