Anak Yang Hilang: Rumah Tuhan bukan Tempat Penghakiman

Anak Yang Hilang mengisahkan tentang kemerdekaan yang melahirkan sukacita. Namun, tidak semua terjadi seperti itu.

Beberapa tahun lalu, aku tenggelam dalam sebuah perbincangan dengan seseorang yang menyebut dirinya sebagai “Seorang yang Paling Berdosa”. Pada saat itu, dia adalah seorang Eks. Penyalahguna NAPZA yang menjalani rehabilitasi sosial di salah satu yayasan kristen.

Dia orang yang cerdas. Bakatnya dalam seni dan olahraga tidak bisa dianggap biasa. Dia juga bukan seorang Kristen dungu yang tidak tahu apa-apa. Dia suka membaca Alkitab dan menikmati karya-karya Joel Osteen dan Rick Warren dengan baik. Secara pengetahuan, ia tidak dapat disebut awam.

Sumber Gambar: powerpyx

“Kenapa di Rumah Tuhan paling sulit ditemui seorang pemakai (NAPZA)?”, tanyanya. Aku menjawab “Karena biasanya penyalahguna NAPZA terlalu teler untuk bangun pagi dan pergi ke Rumah Tuhan? Hahaha”.

“Bukan. Tapi, karena kami adalah seorang yang paling berdosa dan takut ke sana”. “Aku juga berdosa”, jawabku. “Tapi, kamu tidak pernah dihakimi”.

Jawabannya itu seketika melahirkan keheningan yang terasa canggung.

Anak Bungsu Enggan Pulang

(Lukas 15:11-32)

Home dan House adalah cara budaya Barat mengartikan rumah secara suasana dan rumah secara bangunan.

Home adalah kondisi dimana kita dapat merasa aman dan nyaman menunjukan kulit asli tubuh kita, karena kita tahu bahwa kita akan diterima se-asli-aslinya. Sementara, house hanya berbicara tentang bangunan. Itulah yang mereka rasakan ketika pulang ke Rumah Tuhan.

Jika Tuhan adalah Allah, dan Allah adalah kasih, bukankah kita harus mengartikan juga bahwa Rumah Tuhan adalah rumah – yang seharusnya penuh – kasih?

Dan, anak-anak Tuhan adalah anak-anak – yang seharusnya – selalu mengasihi? Namun, yang mereka rasakan adalah seperti mencari Tuhan di tempat yang keliru.

Terkadang para mantan pecandu merasa dianggap seperti parasit yang mencoreng nama baik Rumah dan Anak Tuhan, sehingga dipandang sekenanya atau bahkan diisyaratkan untuk tidak perlu lagi datang ke rumah-Nya.

Mereka merasa seperti tahanan kota atau bahkan terpikir untuk menyebut dirinya sebagai “Seorang yang Paling Berdosa”. Ini soal perlakuan dan perkataan manusia yang lupa bahwa tugasnya adalah menunjukan bahwa Allah itu kasih.

Kekhawatiran untuk menjadi sama saja, membuat Anak-anak Tuhan memilih untuk menjauh dan memperingati orang lain untuk menghindari perilaku yang dianggap tercela ini.

Bukannya aku membela, tapi apakah bedanya kita dengan mereka?

Yang berbeda hanyalah jenis dosanya, tapi nyatanya, kita semua adalah pendosa yang hidup hanya oleh belas kasih dan karunia.

Perbedaannya hanyalah, dosaku tidak dihakimi seperti dosa-dosa mereka.

Jika si anak bungsu seperti dikisahkan dalam Lukas 15:11-32 tidak disambut dengan sukacita oleh ayahnya, tentu ia hanya akan hidup dalam rasa bersalah yang keliru dan terus berdiam di dalam rasa bersalahnya dan tanpa mengetahui, bahwa pengampunan yang sejati itu mendatangkan kemerdekaan dan sukacita.

Pengampunan itulah yang sebenar-benarnya diharapkan oleh banyak “anak bungsu” di luar sana.

Aku bergumul selama bertahun-tahun untuk mengamalkan tulisan ini. Bukan perkara mudah membuat tulisan berlatar belakang Rumah Tuhan. Karena, pasti akan menimbulkan banyak sekali perdebatan – apalagi bagi orang-orang yang bekerja keras di dalamnya.

Tapi, kurasa selama disampaikan, diterima, dan dengan tujuan yang baik, seharusnya tidak menjadi masalah. Karena, ketika aku mendengar perkataan-perkataan tersebut, akulah orang pertama yang mereka tegur.

Sudahkah aku menjadi Rumah Tuhan tempat untuk pulang? atau selama ini aku hanya menjadi penikmat ombak yang takut kebasahan? Hanya menonton di pinggiran, tahu, tapi berharap tidak dihampiri.

Kita lupa, bahwa kasih Tuhan itu sebesar pengorbanan dan pengampunan. Jika untuk mengenal dan menerima saja kita enggan, bagaimana kasih itu dapat bekerja menjadi pengorbanan dan pengampunan? Jika Rumah Tuhan sudah tidak lagi menjadi tempat untuk berpulang, bagaimanakah Tuhan dapat bekerja melalui kita? Padahal kita tahu, bahwa kesungguhan kasih itu menutupi banyak sekali dosa (1 Petrus 4:8).

Kesalah pahaman terhadap Firman Tuhan mungkin menciptakan sindrom-sindrom, yang membuat mereka tidak layak hidup di lingkaran pergaulan kita. Kita cenderung menjauhi atau bahkan menghakimi apa yang bukan menjadi tugas kita, sama seperti Maria Magdalena dulu dihakimi. Padahal, siapakah yang tidak berdosa selain manusia?

Dia mengatakan bahwa yang terutama di atas segalanya itu adalah kasih. Ya, memang bukan berarti kita harus langsung selalu mencari dan menjangkau yang terhilang (karena mungkin, justru yang terhilang itu adalah kita). Tapi, bagaimana caranya agar keberadaan kita membuat seseorang itu merasa dikasihi dan diterima.

Kasih dan penerimaan yang tidak menghakimi.

Jangan sampai, alih-alih menjadi tempat untuk pulang, kita malah menjadi alasan terbesar mereka untuk berlama-lama di luar.

Aku berharap tulisan ini dapat mengikis sedikit demi sedikit sindrom-sindrom Anak Tuhan yang keliru, menjadi pemahaman yang menghasilkan tindakan yang baik. Membuat “si anak bungsu” yang enggan pulang, menjadi tahu bahwa tidak ada tempat yang paling tepat selain Rumah tempat Anak-anaknya Tuhan.

Oleh Gabriella Sihombing –Follow Akun Sosmednya –> Facebook atau Instagram

Ini adalah tulisan kiriman pembaca setia tuaian.com. Kamu bisa ikut serta menyebarkan kasih dan penguatan Firman melalui artikel-artikel seperti ini. Silakan kirim ke tuaiansekarang (at) gmail.com. Tuhan Yesus Memberkati.